Di Desa Yamansari, Presiden Soeharto bertemu Sarno seorang pandai besi yang sudah lanjut usia. Di daerah tempat tinggal Sarno, merupakan kawasan pertanian yang sudah pasti memerlukan peralatan pertanian seperti yang dihasilkan pandai besi misalnya cangkul, parang, garu, dan sabit.
Bengkel pandai besi yang dijalankan Sarno merupakan warisan orang tuanya sejak tahun 1959-an. Lelaki sederhana itu ingat Presiden Soeharto pernah singgah ke tempatnya bekerja.
Kala itu, Presiden Soeharto kepada Sarno bertanya apa saja yang bisa dibuatnya. Sarno menjawab bahwa ia bisa membuat cangkul, sabit, dan perlengkapan pertanian lainnya. Mendengar hal itu, Presiden Soeharto antusias.
Presiden Soeharto kemudian memesan cangkul dan sabit, jumlahnya mencapai ratusan kepada Sarno.
Namun, dengan polos Sarno menjawab bahwa dirinya tidak sanggup mengerjakan pesanan Presiden Soeharto. Sarno beralasan, dirinya terbiasa mengerjakan dalam seminggu tidak lebih dari tiga sampai enam buah cangkul yang bisa diproduksinya.
Presiden Soeharto malah memberikan tawaran kepada Sarno untuk membuat pabrik dengan kemampuan yang memenuhi pesanan. Namun, laki-laki Sarno menolak.
Menurut Sarno, kalau membuat pabrik berarti dia harus berhutang. Sarno tidak mau berhutang. Bagi Sarno hutang akan menjadi beban bagi hidupnya. Meski begitu Sarno mengaku tetap memenuhi pesanan Presiden Soeharto sesuai kemampuannya memproduksi cangkul dan sabit.
Kisah Sarno dan cangkul pesanan presiden memperlihatkan betapa kedatangan Presiden Soeharto yang akrab disapa Pak Harto pada 7 April 1970 memang membawa kenangan tersendiri bagi penduduk Yamansari di Tegal, dikutip dari buku Incognito Pak Harto: Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya.
Dalam kesaksiannya, Sarno masih dapat menceritakan kembali bagaimana Pak Harto menyusuri jalan desa, turun ke sawah, memasuki tempat penggilingan padi, membeli sesuatu di warung kelontong, dan berbincang-bincang dengan penduduk tentang banyak hal.
Terlebih bagi keluarga besar Kepala Desa Yamansari, Pak Harto adalah kenalan lamanya ketika mereka sama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hari itu Pak Harto menginap di rumah mereka yang menyatu dengan balai desa.
Pada malam harinya penduduk memadati halaman rumah karena kedatangan Presiden Soeharto. Ada pemutaran film penyuluhan pertanian yang menjadi hiburan tersendiri.
Namun sekarang, rumah dan balai desa tempat Presiden Soeharto menginap itu sudah tidak ada, berganti dengan komplek ruko yang ramai. Balai desa memang sudah dialihkan ke tempat yang lebih strategis di tepi jalan raya, sementara lahan yang ditinggalkannya dimanfaatkan keluarga untuk berbagai keperluan guna melanjutkan hidup.