CHANNEL8.CO.ID-JAKARTA- Konflik Bosnia-Herzegovina adalah perang bersenjata yang terjadi antara etnis Bosnia dan Serbia pada tahun 1992 hingga 1995. Perang ini menjadi bagian dari rangkaian panjang Konflik Yugoslavia yang lebih luas, yang berlangsung hingga 2003. Konflik ini memunculkan kekerasan etnis yang mengerikan dan berakhir dengan ribuan nyawa melayang serta kehancuran besar-besaran.
Penyebab utama dari konflik ini adalah keruntuhan Yugoslavia pada tahun 1991. Ketika negara-negara bagian Yugoslavia mulai merdeka, Bosnia-Herzegovina yang memiliki penduduk multietnis, termasuk Bosniak (Muslim), Serb (Kristen Ortodoks), dan Kroat (Kristen Katolik), menghadapi ketegangan etnis yang semakin meningkat. Proses perpecahan negara ini memperburuk ketegangan antara berbagai kelompok etnis yang merasa terancam oleh pembentukan negara yang baru.
Rasisme dan kebencian antar etnis semakin menguat, dengan pasukan Serbia yang menentang kemerdekaan Bosnia dan melakukan serangan brutal terhadap etnis Bosnia yang mayoritas Muslim. Konflik ini mengarah pada upaya genosida yang dilakukan oleh pasukan Serbia, dengan tindakan pembersihan etnis yang ditujukan untuk mengusir atau memusnahkan kelompok tertentu. Salah satu kejadian paling kelam dalam perang ini adalah pembantaian Srebrenica pada tahun 1995, di mana lebih dari 8.000 pria dan anak laki-laki etnis Muslim Bosnia dibunuh oleh pasukan Serbia.
Konflik Bosnia-Herzegovina akhirnya berakhir pada tahun 1995 setelah perundingan damai yang ditengahi oleh negara-negara internasional, dengan hasil tercapainya Kesepakatan Dayton. Namun, dampak dari perang ini masih dirasakan hingga kini, dengan luka-luka sosial dan politik yang dalam antara etnis yang berbeda. Konflik ini menjadi salah satu episode paling mengerikan dalam sejarah pasca Perang Dunia II dan menjadi pengingat akan bahaya rasisme dan ketegangan etnis yang tak terkendali.
Di tengah konflik itu, Indonesia mencoba mendamaikan dengan berbagai cara dan pendekatan. Langkah konkret itu dilaksanakan Indonesia tepat pada Maret 1995 saat Presiden Indonesia ke-2 Soeharto melakukan kunjungan berani ke Bosnia-Herzegovina, sebuah negara yang tengah dilanda konflik hebat. Perang saudara yang berlangsung sejak 1992 telah merenggut ribuan nyawa, dengan etnis Bosnia (Muslim), Serbia, dan Kroat terlibat dalam pertikaian sengit. Meski tengah bergejolak, Soeharto memilih untuk terjun langsung ke zona konflik dengan tujuan menyampaikan simpati dan berusaha menjadi penengah.
Dilansir dari situs HM Soeharto pada Selasa (15/1/2025), saat itu, Bosnia-Herzegovina berada di tengah perang yang tak henti-hentinya, terutama setelah etnis Serbia menentang kemerdekaan negara ini dan menyerang ibu kota Sarajevo. Selama lebih dari tiga tahun, wilayah Bosnia didera dengan kekerasan dan pembersihan etnis yang mengerikan. Soeharto, sebagai pemimpin negara Non-Blok, memutuskan untuk memberikan dukungan moral kepada rakyat Bosnia yang mayoritas Muslim, yang menjadi korban serangan etnis lain.
Kunjungan ini dilakukan meskipun situasi di lapangan sangat berisiko. Bahkan, pesawat yang digunakan untuk membawa rombongan Indonesia harus mengisi formulir pernyataan risiko yang menyatakan bahwa PBB tidak bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi. Namun, Soeharto tetap tenang dan tidak gentar menghadapi bahaya. Ia bahkan menolak mengenakan rompi anti peluru dan helm pengaman, meskipun rombongan lainnya harus memakainya.
Setibanya di Sarajevo, Soeharto disambut oleh Presiden Bosnia-Herzegovina, Alija Izetbegovic. Selama kunjungan tersebut, meskipun keadaan sangat tidak kondusif, Soeharto tetap tenang dan berfokus pada tujuan utamanya, yaitu memberi semangat kepada masyarakat Bosnia yang tengah berjuang.
Selain menjadi simbol solidaritas, kunjungan ini juga menginspirasi Soeharto untuk memberikan hadiah yang signifikan bagi rakyat Bosnia, yakni pembangunan sebuah masjid. Masjid Istiqlal, yang terinspirasi dari masjid nasional di Jakarta, akhirnya dibangun di Sarajevo dan diresmikan pada September 2001.
Meskipun kunjungan Soeharto ke Bosnia belum menghasilkan solusi konkret untuk mengakhiri perang, tindakan tersebut tetap dikenang sebagai bentuk kepemimpinan yang berani dan penuh empati. Kunjungan tersebut menjadi teladan bagi siapa saja yang ingin memimpin dengan penuh keteladanan dan keberanian, bahkan dalam situasi yang penuh tantangan dan risiko besar.