CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA — Soeharto mengungkapkan, kalau di Banyumas perebutan senjata dari tangan Jepang dapat berlangsung cuma dengan perundingan, lain halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta.
“Di daerah saya, senjata baru kami dapatkan setelah melalui pertempuran yang cukup sengit,” ujar Soeharto, dikutip dari buku otobiografinya berjudul Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya.
Soeharto mengetahui bahwa ada sejumlah senjata yang dikirimkan dari Banyumas ke Yogyakarta dan dibagi-bagikan kepada anggota-anggota BKR yang sedang menyusun kekuatan. Tetapi jumlahnya jauh dari mencukupi.
Terasa waktu itu Yogyakarta mulai panas. Bara revolusi mulai membakar. Api perlawanan mulai menyala. Maka kemudian ketegangan pun terjadi antara pejuang-pejuang Indonesia yang memerlukan senjata di satu pihak dan tentara Jepang yang bersenjata lengkap dan ingin mempertahankan kekuasaannya di lain pihak.
Ternyata Jepang bergerak lebih dahulu. Mereka melucuti polisi di Gayam. Kejadian ini menyebabkan rakyat marah, mengamuk. Akhirnya rakyat menyerang markas Jepang dan tentara Jepang angkat tangan, menyerah. Dengan ini sejumlah senjata sudah menambah yang ada pada BKR.
Berarti, persiapan untuk menyerang markas Jepang yang lain bertambah. Tetapi sesungguhnyalah, senjata yang ada pada pihak BKR belum cukup dibandingkan dengan yang dipegang oleh pihak Jepang. Namun, sementara Slamet harus pergi dari Yogyakarta menuju Madiun.
Maka Soeharto mengambil alih tanggung jawabnya dan memimpin pasukan serta rakyat menyerbu markas Jepang. Sohearto yakin pada kekuatan semangat yang ada pada pihak BKR.
“Waktu itu umur saya 24, saya bergerak di barisan paling depan, waktu serbuan itu dilakukan. Ternyata kami unggul. Tanggal 7 Oktober 1945 pukul 10.30 resmi tentara Jepang yang ada di Kotabaru itu menyerah,” ujar Soeharto.
Tentara Jepang mengibarkan bendera putih. Senjata-senjata dan kendaraan mereka pindah ke tangan BKR. Ratusan karaben dan sejumlah senapan mesin telah dirampas BKR. Senjata rampasan tersebut terus diangkut ke Markas Pemuda di Benteng, depan Gedung Agung, dulu namanya Benteng Kompeni Vredeburg. Tidak sedikit pemuda Indonesia menjadi korban akibat tembakan peluru tentara Jepang, yang gugur berjumlah 21 orang.
Sebelumnya: Kisah Soeharto Memimpin Penyerbuan Markas Jepang (Bagian 1)