BeritaHistoria

Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 1)

×

Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 1)

Sebarkan artikel ini
Soeharto mendampingi Panglima Besar Jenderal Soedirman (Tangkapan layar dari buku Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya)

CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA — Pada 19 Desember 1948, Belanda secara mendadak menyerang Yogyakarta melewati Maguwo yang akhirnya bisa masuk kota, itulah Agresi Belanda Ke-2.

Perlawanan dari pihak Indonesia waktu itu kecil. Memang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan semula, sebelumnya pasukan-pasukan TNI telah mengundurkan diri ke luar kota. Komando Indonesia yang ada di kota Yogyakarta adalah Komando Militer Kota (KMK) yang langsung berada di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Komandannya Letkol Latif Hendraningrat yang pada tanggal 17 Agustus 1945 mengerek bendera Merah Putih di Gedung Proklamasi, di Pegangsaan Timur, Jakarta.

Saat itu terjadi, Presiden Ke-2 RI Soeharto masih menjadi Komandan Brigade yang mempersiapkan pertahanan di luar kota. Sehingga tidak bisa mencampuri apa yang harus dilakukan di dalam kota Yogyakarta.

“Yang ada di kota pada waktu itu hanya satu kompi, pengawal Kompi Brigade dan pengawal presiden, maka praktis pada waktu penghambatan terhadap serangan Belanda dari Maguwo terus ke kota itu hanya dilakukan oleh satu kompi saja, yakni kompi pengawal pribadi saya,” kata Soeharto.

Soeharto menyadari tugas yang berat itu dalam keadaan tanpa pasukan. Bahkan harus tetap berusaha menghambat pasukan musuh yang bergerak.

Soeharto bermaksud memberi kesempatan kepada pemerintah di kota, agar mengungsi dan melakukan bumi hangus. Tetapi ternyata yang mau mengungsi hanya Pak Dirman (Jenderal Soedirman sang Bapak TNI) dalam keadaan sakit yang baru saja satu paru-parunya dibedah.

Sementara, Bung Karno dan Bung Hatta memutuskan untuk tinggal di tempat. Ternyata mereka ditawan, dikirimkan ke Prapat, Sumatera. Jadi yang sempat dibumihanguskan hanya gedung KP-5, yakni gedung Korps Penyelidik yang dipimpin oleh Kolonel Lubis, letaknya di dekat jembatan Kewek dan markas Brigade tempat Soeharto bertugas.

Pasukan Pak Dirman terus mengawal Pak Dirman, sedangkan Corps Polisi Militer (CPM) berceceran karena harus mengawal Pak Dirman juga mengawal presiden dan wakil presiden. Ada pasukan Militer Akademi, tetapi mereka masih kader-kader sehingga tidak bisa digunakan.

“Saya masih bisa bertahan hingga pukul dua (14.00) atau tiga (15.00) siang waktu itu, kami masih sempat tembak-menembak dengan tentara Belanda di selatan Sentul, sewaktu tembak-menembak itu saya sungguh prihatin bagaimana kecewanya rakyat Ibu kota Yogyakarta menyaksikan Belanda dengan mudah masuk ke tengah kota,” ujar Soeharto.

Soeharto mengungkapkan bahwa mungkin kekecewaan masyarakat Yogyakarta terjadi karena mereka tidak tahu bahwa Komandan Brigade tidak punya pasukan. Pasukan yang dipimpin Soeharto ada di Purworejo, di daerah barat.

“Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI,” ujar Soeharto, dikutip dari buku otobiografinya berjudul Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya.

Soeharto ingin meyakinkan masyarakat Yogyakarta bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Satu-satunya jalan adalah melakukan serangan balasan secepat mungkin ke ibukota (di Yogyakarta, ibukota sementara).

“Dalam kesempatan itu saya pun menyadari bahwa Yogyakarta adalah Ibukota Republik Indonesia, apapun yang terjadi di ibukota sangat besar pengaruhnya terhadap perlawanan di daerah lainnya, begitu pula terhadap dunia luar,” kata Soeharto.

Di tengah suasana tembak-menembak dengan Belanda di kampung Nyutran pinggiran kota sebelah tenggara, secara kebetulan Kapten Widodo menghampiri Soeharto.

Soeharto tahu bahwa Kapten Widodo itu Komandan Kompi dari Batalyon Sardjono yang ada di Purworejo. Tetapi tidak dilewatkan kesempatan itu oleh Soeharto.

Maka Soeharto kepada Kapten Widodo memerintahkan, “Kamu segera lapor kepada Komandan Batalyon bahwa musuh sudah ada di Yogyakarta. Sekarang, tarik seluruh batalyon ke Yogyakarta. Segera susun sektor di selatan Yogyakarta, dan tunggu perintah saya sambil mempersiapkan untuk melaksanakan serangan umum ke kota.”

“Saya tutup pembicaraan itu dengan Komando ulangan itu, ‘tunggu perintah saya’,” ujar Soeharto.

Setelah Kapten Widodo berangkat, Soeharto menuju Ngotho, tempat Pos Komando Pertama yang telah ditentukan sebelumnya, memberi petunjuk kepada staf untuk memindahkan posko ke sebelah timur Kali Opak di Desa Segoroyoso.

Soeharto memutuskan segera mengadakan konsolidasi, mendatangi seluruh wilayah Yogyakarta. Dengan pasukan kelompok kecil, Seoharto terus berkeliling daerah.

“Malam itu saya bergerak ke barat, menyusun sektor di daerah itu, yang ada di sana waktu itu Mayor Ventje Sumual. Maka saya tunjuk dia menjadi pimpinan di sektor barat dengan tugas menghimpun, mengkonsolidasi semua pasukan yang bersenjata di daerahnya,” ujar Soeharto menggambarkan kisah perjuangannya berperang melawan penjajah.

Kepada Mayor Ventje Sumual, Soeharto perintahkan, dengan kekuatan yang ada di sektor barat, segera dilakukan pengintaian untuk mengenal medan, melakukan serangan gerilya pada musuh, penghadangan terhadap konvoi musuh dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan umum ke kota dari arah barat atas perintah Soeharto.

“Tunggu perintah saya,” kata Soeharto menegaskan kepada Mayor Ventje Sumual seperti yang ditegaskan kepada Kapten Widodo.

Kemudian Soeharto terus menuju ke utara. Di sana ada pasukan Militer Akademi (MA), komandannya seorang kolonel, Kolonel Djatikusumo.

“Karena pangkatnya lebih tinggi daripada pangkat saya, maka saya menunjuk kepala stafnya saja, Mayor Kasno, untuk memimpin sektor utara, dengan tugas yang sama, semua pasukan yang lari menyingkir ke utara harus dia himpun,” ujar Soeharto.

Soeharto mengatakan, dari sektor utara juga harus diadakan serangan secara kecil-kecilan, sambil mengenal medan di sebelah utara dan mempersiapkan diri untuk serangan umum ke Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota.

“Selanjutnya saya menuju ke daerah sebelah timur. Di sana menunjuk Mayor Soedjono, dari batalyon saya sendiri, untuk memimpin di sektor itu, dengan tugas yang serupa,” jelas Soeharto.

Selanjutnya, pasukan yang ada di sebelah timur itu dihimpun dan mengadakan serangan gerilya terhadap kedudukan musuh yakni Belanda, sambil menunggu perintah dari Soeharto.

Soeharto kembali ke selatan. Sesampainya di daerah selatan, batalyon Soedjono sudah datang dari Purworejo yaitu batalyon yang Soeharto perintahkan untuk datang melalui Kapten Widodo. Dengan demikian, maka semua persiapan sudah beres.

“Cuma di kota belum terbentuk pasukan karena waktu itu saya belum masuk kota, tetapi kemudian saya tetapkan kota Yogyakarta berada di bawah pimpinan Letnan Marsudi, dan wakilnya Letnan Amir Murtono,” ujarnya.

Soeharto segera membuat rencana serangan umum pertama. Maksudnya bukan untuk menduduki Yogyakarta, melainkan untuk menunjukkan kepada rakyat dan pihak Belanda bahwa TNI masih ada.

“Maka serangan kami lakukan pada tanggal 30 Desember 1948 malam hari. Serangan inilah yang kelak oleh sementara pihak disebut seolah-olah gagal, yang menilai begitu, ia tidak tahu, apa maksud serangan umum pertama itu,” ujar Soeharto.

 

Bersambung ke Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *