CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA — Soeharto menetapkan agar pasukan yang akan memerangi Belanda di Yogyakarta mengenakan janur kuning. Sebelumnya, Belanda secara mendadak menyerang Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Indonesia, Itulah yang disebut Agresi Belanda Ke-2. Soeharto dan pasukan TNI juga telah menyerang Belanda beberapa kali. Namun pihak Belanda menyiarkan lewat radio bahwa TNI sudah tidak ada.
Hal itulah yang membuat Soeharto memutuskan pada tanggal 1 Maret 1949 melakukan serangan pagi, pasukan TNI mengenakan janur kuning sebagai tanda pengenal.
“Saya tekankan, serangan kita itu bukan untuk menduduki dan terus mempertahankan kota (Yogyakarta). Mempertahankan itu bertentangan dengan taktik gerilya. Mengambil sikap mempertahankan itu bisa dihancurkan lawan yang punya senjata lebih ampuh. Sebab itu, kita menyerang untuk tujuan politis, agar supaya dunia mengetahui bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan,” kata Soeharto.
Soeharto berpikir bahwa penting adanya unsur mendadak, karena hal itu merupakan salah satu unsur yang bisa membuahkan kemenangan. Alhasil, serangan itu dilakukan dengan perencanaan dan persiapan yang matang.
“Saya pimpin serangan itu dari sebelah barat masuk lewat Kuncen terus ke Pathuk, saya rahasiakan rencana ini. Tidak boleh bocor,” ujar Soeharto.
Kelahiran Putri Pertama Saat Agresi Belanda Ke-2
Di tengah ketegangan peperangan melawan Belanda, Soeharto mendengar kabar gembira di tengah ketegangan itu.
“Istri saya yang saya tinggalkan di kota, dikabarkan sudah melahirkan pada tanggal 23 Januari 1949, anak kami yang sulung perempuan, yang kami beri nama Siti Hardijanti Hastuti (Tutut) ternyata menambah semangat saya untuk berjuang,” ujar Soeharto.
Namun, Soeharto mesti bersabar karena belum bisa menjenguk putrinya. Sebab sedang berada di tengah situasi genting dan peperangan.
Pada waktu sirine akhir jam malam berbunyi tanggal 28 Februari 1949 pagi, pasukan yang bersama Soeharto dikejutkan oleh bunyi ledakan dan tembakan yang cukup gencar.
Tentu saja semua terkejut karena Soeharto telah tetapkan serangan itu akan dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 di pagi hari, tepatnya pada waktu sirine akhir jam malam.
Ternyata Letnan Komarudin telah salah hitung waktu penyerangan yang telah disepakati. Itulah yang menyebabkan bunyi ledakan dan tembakan yang cukup gencar pada waktu sirine akhir jam malam berbunyi tanggal 28 Februari 1949 pagi.
“Namun, rupanya Belanda mengira serangan umum yang akan kami lancarkan itu cuma seperti apa yang telah terjadi pada tanggal 28 Februari 1949 itu,” kata Soeharto.
Meski demikian, Soeharto khawatirkan pembalasan tentara Belanda terhadap rakyat di kota Yogyakarta. Mungkin sekali Belanda akan mengadakan pembersihan dan rakyat yang tidak berdosa ditembaki oleh Belanda.
“Maka saya menemukan jalan keluarnya, agar hal yang saya risaukan itu tidak terjadi. Terpikir oleh saya, begitu serangan umum itu nanti selesai, begitu kita mengadakan serangan terus-menerus terhadap pos- pos Belanda yang berada di luar kota, supaya pasukan Belanda yang ada di kota ditarik ke luar kota, sehingga tidak ada waktu bagi mereka untuk membalas dendam terhadap rakyat, begitu rencana saya waktu itu, dan ternyata kemudian berhasil,” kata Soeharto mengisahkan.
Soeharto mengisahkan, tepat pukul 06.00 pada tanggal 1 Maret 1949 bersama dengan dibunyikannya sirine akhir jam malam yang telah ditentukan, sebagai tanda mulai serbuan, terdengarlah tembakan yang gemuruh di seluruh kota Yogyakarta. Dari berbagai arah TNI menyerang kota Yogyakarta.
Mulai sore hari, TNI telah menyusup ke kota dan pagi hari sebelum sirine berbunyi, TNI sudah di depan pertahanan Belanda.
“Belanda kaget, Kolonel Van Langen yang baru bangun, rupanya dikejutkan oleh gemuruhnya serangan di perbagai penjuru,” ujar Soeharto.
Dalam waktu singkat TNI menguasai seluruh kota Yogyakarta. Bendera Merah Putih dikibarkan di Jalan Malioboro dan beberapa tempat lainnya. Rakyat menyambut TNI dengan pekik “Merdeka!”
Soeharto mengetahui bahwa Kolonel Van Langen meminta bantuan dari Semarang. Brigade Gajah Merah dimintanya datang di bawah pimpinan Kolonel Van Zanten.
Yogyakarta dikuasai TNI hingga tengah hari. Memang sejak semula TNI tidak berniat untuk mendudukinya dan mempertahankannya terus. Enam jam saja TNI menduduki Yogyakarta. Itu pun sudah cukup untuk mencapai tujuan.
“Kemudian sewaktu Belanda mendapat bala bantuan dari Semarang, saya perintahkan pasukan-pasukan untuk mundur. Tujuan serangan telah tercapai dan kemudian saya perintahkan pasukan-pasukan untuk menyerang pos-pos Belanda yang ada di luar kota,” kata Soeharto.
Serangan Umum 1 Maret 1949 Getarkan PBB, Belanda Masuk Perangkap
Serangan Umum 1 Maret pada siang hari itu kemudian diberitakan ke luar negeri melewati Sumatera. Kemudian dari Sumatera berita itu disiarkan ke check-pointnya di Birma, dari Birma diteruskan ke New Delhi dan terus tersebar ke seluruh dunia serta menggetarkan yang ada di dalam sidang-sidang PBB.
“Kita beruntung masih memiliki pemancar radio di Playen (Wonosari). Pemancar yang dipimpin Perwira AURI Boediardjo, inilah yang memberitakan ke luar negeri,” kata Soeharto.
Belanda mengetahui pemancar ini. Karena marahnya, pada tanggal 9-10 Maret 1949, Belanda menyerang Wonosari secara besar-besaran.
Dalam hati, Soeharto tertawa, karena dengan serangan itu Belanda masuk perangkap strateginya. Mereka tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk pembersihan di kota. Rakyat Indonesia di kota Yogyakarta selamat dari pembalasan Belanda.
Untuk lebih membingungkan Belanda, dua kompi yang telah disiapkan Soeharto yakni kompi Widodo dan kompi Darsono, dipimpin Soeharto bergerak ke barat menyerang Bantar Sleman, Kaliurang, lalu menyerang Wonosari.
Pada tanggal 5 April 1949, Soeharto dan pasukannya tiba kembali di Imogiri dan Segoroyoso. Tanggal 9 April 1949 barulah pasukan pindah ke Bibis, mendekati kota.
Kilas Balik Soeharto
Mengenang kembali agresi Belanda ke-2 dan Serangan Umum itu, Seoharto berpikir bahwa penyerangan Belanda itu dipengaruhi oleh berbagai perkembangan yang terjadi. Antara lain oleh adanya pertentangan pendapat di antara para pemimpin Indonesia, sehubungan dengan hasil Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Hal ini terbukti antara lain dengan timbulnya pemberontakan PKI di Madiun.
Hal lain adalah suasana yang mempengaruhi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sendiri, dan adanya reorganisasi dalam tubuhnya. Daerah Jawa Tengah misalnya, yang semula terdiri atas empat divisi, lantas diciutkan menjadi satu divisi, yaitu Divisi Diponegoro.
Sementara Yogyakarta yang tadinya mempunyai empat resimen, kemudian diperkecil jumlahnya menjadi satu resimen. Perkembangan lain yang mempengaruhinya adalah suasana perundingan RI dan Belanda sendiri yang tidak mencapai titik temu, sekalipun telah dibantu oleh Komisi Tiga Negara.
Mengenai hal ini kalangan politisi Indonesia ketika itu optimis, Belanda tidak akan menyerang kedudukan RI, sehingga perundingan sebaiknya terus dilakukan.
Sebaliknya, pimpinan APRI berpendapat, perundingan itu merupakan taktik Belanda untuk menyusun kekuatan. Perhitungannya, pasti Belanda akan menyerang kedudukan RI. Sehingga, berdasarkan perkiraan itu, para komandan brigade diberi petunjuk untuk melakukan perang gerilya jika Belanda melakukan penyerangan.
Diingat kembali, Serangan Umum 1 Maret 1949 itu merupakan bagian dari strategi perjuangan bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya dari satuan yang bergabung dalam Wehrkreise III ketika itu, untuk mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara.
Jadi, peristiwa heroik itu tidak berdiri sendiri. Penyerangan TNI itu sendiri mempunyai tujuan politis, militer maupun psikologis, karena kota Yogyakarta pada waktu itu adalah kota penting, ibukota Negara Republik Indonesia.
Baca juga: Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 1)
Baca juga: Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 2)