CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA – Mantan Gubernur DKI Jakarta, Raden Soeprapto Djojoharsojo mengenang sosok Presiden ke-2 RI Soeharto dalam buku Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun yang diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda pada 2009. Dalam buku tersebut, Soperapto mengaku kagum dengan ayah mantan mertua Presiden Prabowo tersebut.
Menurut dia, Soeharto adalah sosok yang taktis dan strategis dalam menentukan kebijakan. Oleh sebab itu, kerap kali Soeharto selalu melakukan sesuatu dengan penuh hati-hati dan penuh dengan pertimbangan.
“Langkah yang dilakukan beliau jelas meskipun penuh kehalusan. Keputusan yang diambil bisa kita kaji dan terima,” katanya dalam buku tersebut seperti dikutip, Selasa (25/2/2025).
Tak hanya itu, Soeharto, kata Soeprapto memiliki karakter yang humanis dan berwawasan luas. Soeharto bisa mengambil langkah politik dengan cepat dan tepat bila kondisi dan stuasinya mendesak.
“Saya sering dibuat heran dan kagum akan tindakan-tindakan beliau sainpai kadang-kadang saya berpikir apakah beliau itu memiliki indera keenam,” tuturnya.
Dia mencontohkan saat wafat Kaisar Hirohito dari Jepang. Soeharto langsung menyatakan keinginannya untuk datang melawat. Padahal banyak kepala negara yang masih memperhitungkan untung ruginya datang ke sana, mengingat tindakan Jepang pada masa Perang Dunia II yang lalu.
Dia menyebut, waktu itu masyarakat Indonesia dan pemerintah semacam masih kesal dengan Jepang karena telah menjajah Indonesia.
“Ini menunjukkan bahwa beliau dapat memperhitungkan keuntungan-keuntungan politis dengan perlawatan tersebut. Perkiraan ini memang tidak meleset yaitu dengan banyaknya kepala negara yang kemudian menemui beliau di sana dan melakukan pendekatan-pendekatan politis,” ucapnya.
“Kita telah melihat bahwa meskipun Pak Harto itu seorang militer tetapi beliau adalah seorang yang lembut dan kebapakan. Ini merupakan gabungan sifat yang saya nilai sangat baik,” tulisnya lagi.
Menurut mantan Wakil Ketua MPR RI Era Orde Baru itu, kemampuan Pak Harto
untuk menggabungkan sifatnya yang tegas sebagai seorang militer dan yang lembut kebapakan itu adalah karena beliau sangat memegang teguh prinsip-prinsip filsafat Jawa.
Sebagai contoh, digdaya tanpa bala dan menang tanpa ngasorake yang berarti kuat tanpa bala tentara dan menang tanpa mempermalukan. Artinya, kalau kita terlibat dalam suatu perdebatan atau dialog, bagaimana cara kita dapat mencapai hasil atau mencapai kemenangan tanpa lawan merasa dikalahkan atau dipermalukan.
Orang akan menerima pendapat kita tanpa dipaksakan.
Bila kita berpegang pada prinsip ini, maka kita akan bersikap halus dalam segala tindakan kita.
Meskipun beliau sangat menghayati filsafat Jawa, tetapi prinsip sabda pandita ratu tidak tercermin dalam kepemimpinan beliau, karena beliau sangat terbuka dan demokratis sekali.
“Prinsip yang selalu diterapkannya adalah prinsip ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Bukankah ini pencerminan sikap demokratisnya?,” ujarnya.