CHANNEL8.CO.ID, YOGYAKARTA – Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Sejak 2022, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Serangan ini dipimpin oleh Letkol Soeharto bersama pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Subwehrkreise untuk merebut kembali Yogyakarta dari pendudukan tentara Belanda.
Sebelumnya, pada Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer untuk menguasai kembali wilayah Indonesia yang telah merdeka sejak 1945. Namun, upaya tersebut mendapat perlawanan sengit dari TNI, pemerintahan darurat Republik Indonesia, dan rakyat setempat. Perlawanan ini membuat Belanda kesulitan mempertahankan posisinya di Yogyakarta.
Di tengah situasi yang penuh tekanan, ada misi lain yang tak kalah krusial—mengirim pesan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Upaya ini menjadi tantangan tersendiri mengingat kondisi komunikasi yang terbatas dan pengawasan ketat dari pihak Belanda. Namun, misi tersebut tetap dijalankan demi pengakuan dunia terhadap kemerdekaan Indonesia. Eksistensi tersebut juga dilakukan untuk membuktikan bahwa masyarakat Indonesia mampu menghadapi penjajah Belanda.
Kepala Museum Sandi BSSN, Yogyakarta, Setyo Budi Prabowo dalam Dialog Publik yang digelar Yayasan Kajian Citra Bangsa dan Museum Sandi BSSN Yogyakarta dalam rangka memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Selasa (25/2/2025), menceritakan bagaimana susahnya TNI dan pemerintahan saat itu melawan penjajah, termasuk mengabarkan soal kemenangan bangsa Indonesia ke PBB atas peristiwa tersebut.
Dia mengatakan, satu waktu, supaya misi melawan penjajah tersebut benar-benar berhasil, pemerintah dan TNI menggunakan kata sandi atau sandi khusus untuk melakukan komunikasi antar pejuang. Hal ini dilakukan supaya pembicaraan atau informasi rahasia tidak terdeteksi Belanda.
Karena itu, dia menuturkan, tepat pada Desember 1948, sebanyak 2 personel TNI yang berada di sekitar Dekso di Yogyakarta ditugaskan pimpinannya untuk mencari tempat yang sulit terdeteksi Belanda. Tempat itu, kata Setyo, akhirnya digunakan saling bertukar informasi.
“Sebenarnya serangan umum 1 Maret itu sudah dipersiapkan lama, karena memang ada komunikasi organisasi, Saat itu pemimpin PDRI Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat, tapi komunikasi terjalin lewat sandi itu,” katanya.
Dia lalu mengutip arsip nasional terkait Serangan Umum 1 Maret 1949. Menurut Setyo, serangan umum sudah direncanakan sejak pukul 06 pagi oleh TNI dan masyarakat. Namun, saat itu, penyampaian informasi sangat lambat sehingga tidak tersebarluaskan.
“Biar lengkap saya bacakan dokumen berita telegram yang dikirim ke PBB,” kata dia.
“Tanggal 2 Maret pukul 22.00 WIB, waktu berita ini diterima gerilya. 28 Februari 1949 Serangan besar-besaran menduduki sebagian ibu Kota Yogyakarta. Sang merah putih telah berkibar lagi di tempat-tempat yang kita kuasai. Orang-orang kita yang sempat ditawan Belanda sudah kita bebaskan lagi,” ujar Setyo membacakan isi telegram resmi pemerintah tersebut.
“Di sekitar kota, beberapa tempat kita rebut kembali, pertempuran di kota-kota berjalan terus. Ketika berita ini diterima belum dipastikan pihak-pihak korban dari Belanda’. Ini telegram resmi yang disampaikan pemerintah RI untuk menunjukan eksistensinya,” bunyi telegram itu.
Dalam kesempatan yang sama, penulis buku Soeharto, Nur Johan Nuh mengatakan, pada 15 Desember 1948, salah seorang prajurit TNI Zulkifli menyampaikan informasi penting dari Belanda. Diam-diam prajurit TNI tersebut ternyata bisa membaca sandi-sandi yang dibuat Belanda.
“Dia sampaikan ke Pak Dirman (Jenderal Besar Soedirman). Barulah di situ
Jenderal Soedirman mengambil alih kekuasaan,” ucapnya.
Karena sudah persiapan, pada 19 Desember 1948 ketika terjadi agresi militer oleh Belanda. TNI dan masyarakat Indonesia sudah siap dan informasi soal rencana agresi pun sudah menyebar luas. Akhirnya semua berjalan dengan lancar.