BeritaHistoria

Warisan Kepemimpinan Soeharto Menurut Jacob Oetama

×

Warisan Kepemimpinan Soeharto Menurut Jacob Oetama

Sebarkan artikel ini
Presiden Soeharto (kanan) dan Jacob Oetama (kiri) (Foto: Arsip RI)
Presiden Soeharto (kanan) dan Jacob Oetama (kiri) (Foto: Arsip RI)

CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA – Sosok Presiden ke-2 RI, Jenderal Besar Soeharto, hingga kini masih lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia. Sosoknya terus menuai beragam penilaian, baik kritik tajam maupun kekaguman, masing-masing dengan argumentasi dan alasan yang beragam.

Salah satu tokoh yang pernah berinteraksi intens dengan Soeharto adalah Jacob Oetama, wartawan senior sekaligus pendiri Harian Kompas. Melalui tulisannya di Harian Kompas edisi 21 Januari 2016, Jacob mengenang dan menguraikan warisan berharga yang ditinggalkan Soeharto selama masa pemerintahannya.

Jacob Oetama membandingkan kepemimpinan Soeharto dan Presiden pertama RI, Soekarno, yang menurutnya memiliki sejumlah persamaan, meski juga dengan capaian dan karakter kepemimpinan yang berbeda.

Dalam pandangan Jacob, Soeharto adalah sosok pemimpin yang cerdas dan terbuka. Kemampuannya beradaptasi menjadikannya sosok yang disegani oleh para tokoh politik pada masanya. Kecerdasan dan keterbukaan inilah yang turut mengantarkan Soeharto dipercaya memimpin NKRI.

“Adalah kecerdasan Presiden Soeharto dan keterbukaannya yang tahu diri sehingga dapat merekrut para pembantu setingkat menteri, yang di bidang ekonomi-keuangan dan bidang lainnya memberikan kualitas kompetensi profesional dan teknokratis,” tulis Jacob Oetama, dikutip Kamis (6/3/2025).

Jacob juga menilai Soeharto berhasil melakukan perbaikan signifikan dalam kehidupan sosial ekonomi rakyat. Perubahan positif terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

“Jika pemerintah dan pemerintahan waktu itu adalah otokratis, otokrasi itu sekaligus teknokratis dan kompeten. Sayangnya, pola, semangat, dan praksis otokrasi yang tercerahkan (enlightened) itu tidak mampu bertahan,” kata Jacob.

Namun, Jacob juga mengingatkan bahwa di balik warisan tersebut, kepemimpinan Soeharto muncul budaya feodalisme. Padahal, pada awalnya, pemerintahan Orde Baru diusung dengan idealisme membangun kekayaan untuk kemakmuran rakyat banyak dan melayani kepentingan publik.

“Ketika kekuatan pengontrol melemah dan terus melemah, muncullah fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mewabah. Wibawa serta efektivitas kekuasaan pun perlahan tergerogoti,” ujarnya.

Jacob menambahkan, tidak adanya kekuatan kontrol yang efektif semakin memperburuk situasi. Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia, kondisi tersebut menjadi semacam pemicu (casus belli) yang mempercepat jatuhnya Soeharto beserta rezimnya. Indonesia pun memasuki era baru, yaitu masa Reformasi.

“Dilakukan pembaruan terhadap tafsir UUD 1945. Bukan lagi otokrasi, melainkan demokrasi. Kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat melalui pemilu yang jujur dan adil, serta DPR hasil pemilu yang merepresentasikan suara rakyat,” pungkas Jacob.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *