CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA – Presiden ke-2 RI, Jenderal besar Soeharto terkenal dengan strategi penyamarannya ke desa terpencil yang ada di Indonesia, terkhusus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penyamaran dan blusukan ini tidak ada yang mengetahui, kecuali orang-orang dekat Presiden Soeharto. Bahkan, kepala daerah di wilayah yang akan dikunjunginya pun tidak pernah diinformasikan.
Presiden Soeharto ternyata memiliki alasan tersendiri, mengapa strategi tersebut harus ia terapkan. Dalam pengakuannya, ia menggunakan strategi tersebut karena ingin melihat langsung kondisi rakyatnya tanpa seremoni yang berlebihan.
Dilansir dari buku Pak Harto: The Untold Stories (2011) pada Sabtu (8/5/2025), blusukan menjadi salah satu kebiasaan Presiden Soeharto. Meski memiliki agenda politik yang padat, ia selalu menyempatkan diri untuk turun ke desa-desa guna menyerap aspirasi rakyat. Soeharto percaya bahwa kebijakan yang baik harus didasarkan pada realitas di lapangan, bukan sekadar laporan resmi.
Kebiasaannya ini kerap membuat kepala daerah kalang kabut karena mereka tak sempat mempersiapkan penyambutan. Meski demikian, blusukan ini memberi Soeharto gambaran nyata tentang permasalahan yang dihadapi rakyat, mulai dari kemiskinan, hasil panen yang merosot, hingga impian masyarakat kecil, terutama para petani.
Soeharto yang berasal dari keluarga petani memiliki kedekatan emosional dengan rakyat kecil. Ia skeptis terhadap laporan-laporan resmi dan lebih memilih mendengar langsung keluhan rakyat. Berdasarkan pengalamannya, Soeharto kemudian merancang program-program pembangunan yang tepat guna demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Dengan muka serius Pak Harto menceritakan bahwa untuk bisa membuat semua orang bisa makan telur, bosan makan ayam, mengenyam pendidikan, dan kesehatan, dibutuhkan perjuangan yang berat dalam tempo panjang,” tulis buku itu.
Namun, membangun bangsa tidaklah mudah. Selain menghadapi kritik dan tekanan dari dalam negeri, kebijakan pembangunan nasional juga kerap mendapat tekanan dari lembaga internasional yang ingin mendikte arah kebijakan Indonesia.
Selain blusukan resmi, Soeharto juga sering melakukan kunjungan mendadak tanpa pemberitahuan. Salah satu perjalanan rahasianya terjadi pada 6-10 April 1970.
Saat itu, Soeharto memilih bepergian dengan kendaraan sederhana, Toyota Hi-Ace, dengan pengawalan minimal. Ia bahkan meminta pasukan pengawalnya untuk menjaga jarak agar keberadaannya tidak mencolok.
Dalam perjalanan ini, Soeharto mengunjungi berbagai daerah, termasuk Subang, Indramayu, Tegal, Purwokerto, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur, dan Sukabumi. Banyak kepala daerah yang tidak mengetahui kedatangannya, sehingga mereka tidak sempat menyiapkan penyambutan resmi.
Meski demikian, beberapa pejabat yang mengetahui kunjungan tersebut tetap berusaha menyambut Soeharto dengan baik. Namun, Soeharto tetap ingin melihat kondisi rakyat apa adanya, tanpa rekayasa atau penyambutan yang dibuat-buat.
Perjalanan ini berlangsung sederhana. Soeharto dan rombongan memilih menginap di rumah kepala desa atau warga setempat, bukan di hotel atau rumah dinas pejabat. Untuk kebutuhan logistik, mereka membawa beras dari Jakarta, sementara Ibu Tien Soeharto membekali sambal teri dan kering tempe sebagai lauk sederhana.
“Kami tidak pernah makan di restoran, menginap di rumah kepala desa, atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistiknya, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri dan kering tempe. Kami benar-benar prihatin saat itu dan saya melihat Pak Harto sangat menikmati perjalanan keluar masuk desa itu,” ungkap Try Sutrisno dalam buku itu.
Blusukan ala Soeharto ini membuktikan bahwa ia ingin memahami kondisi rakyat secara langsung, bukan hanya dari laporan bawahannya. Hasil perjalanan ini menjadi dasar bagi kebijakan-kebijakan pembangunan nasional yang ia terapkan, terutama pada masa Pelita II.