BeritaHistoria

Sejarah Supersemar: Keberhasilan Jenderal Besar Soeharto Pulihkan Keamanan Nasional

×

Sejarah Supersemar: Keberhasilan Jenderal Besar Soeharto Pulihkan Keamanan Nasional

Sebarkan artikel ini
Dokumen Supersemar (Foto: Arsip Nasional RI)
Dokumen Supersemar (Foto: Arsip Nasional RI)

CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA – Setiap tanggal 11 Maret masyarakat diingatkan dengan peristiwa penting peralihan kekuasaan Presiden ke-1 RI Soekarno kepada Presiden ke-2 RI Jenderal besar Soeharto. Sejarah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 menjadi babak baru bagi pemerintahan Soeharto untuk memulihkan keamanan nasional usai memanas karena terjadinya pembunuhan secara sadis kepada sejumlah jenderal TNI dan masyarakat sipil oleh Partai Komunias Indonesia (PKI).

Singkatnya, Supersemar adalah penyerahan mandat kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto, yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Supersemar dikeluarkan dengan tujuan mengatasi konflik dalam negeri saat itu, yang salah satunya dipicu peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965.

Peristiwa 11 Maret 1966 dan Supersemar.

Dikutip dari channel YKCB, Selasa (11/3/2025), dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966 berjudul Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah), Presiden Soekarno menegaskan bahwa Jenderal Soeharto telah melaksanakan perintah dengan baik. Presiden Soekarno juga mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Soeharto.

Namun, di awal era reformasi, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) mulai dipersoalkan oleh berbagai pihak. Beragam pertanyaan pun muncul, seperti keberadaan asli dokumen tersebut dan apakah Supersemar merupakan suatu pengalihan kekuasaan.

Ada pula yang menganggapnya sebagai sebuah kudeta merangkak. Untuk memahami konteksnya, penting untuk menelusuri rentetan peristiwa yang mengarah pada dikeluarkannya surat tersebut.

Situasi 11 Maret 1966

Pada pagi hari tanggal 11 Maret 1966, jalan-jalan di Jakarta dipenuhi oleh mahasiswa dan pelajar yang melakukan aksi demonstrasi. Tujuan utama mereka adalah menekan pemerintah agar membubarkan sidang paripurna Kabinet Dwikora. Sidang tersebut tetap dimulai pukul 09.00 WIB, meskipun beberapa menteri tidak bisa hadir akibat blokade para demonstran.

Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, tidak hadir dalam sidang karena sedang sakit. Oleh karena itu, Presiden Soekarno memerintahkan Panglima Kodam Jayakarta, Amir Mahmud, untuk menghadiri sidang kabinet.

Laporan Situasi Genting

Sekitar sepuluh menit setelah sidang dimulai, Komandan Cakrabirawa, Brigjen Sabur, menerima laporan bahwa ada pasukan tanpa identitas di sekitar Istana Negara. Sabur kemudian menyampaikan laporan tersebut kepada Pangdam Jayakarta, Amir Mahmud, melalui sebuah nota tertulis. Amir Mahmud menjawab dengan nada menenangkan, menyatakan bahwa situasi masih terkendali.

Namun, Sabur yang masih merasa khawatir akhirnya mengirimkan nota langsung kepada Presiden Soekarno. Setelah membaca nota tersebut, Presiden tampak gelisah dan menunjukkan isi nota itu kepada Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio, Dr. Leimena, dan Chaerul Saleh.

Setelah itu, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Dr. Leimena dan segera meninggalkan ruang sidang. Ia kemudian diarahkan oleh Brigjen Sabur menuju helikopter untuk diterbangkan ke Istana Bogor.

Konsolidasi Jenderal Soeharto

Setelah kepergian Presiden Soekarno, sidang kabinet kembali dibuka oleh Dr. Leimena, tetapi segera ditutup karena suasana yang semakin tegang. Para menteri satu per satu meninggalkan istana. Saat itu, Mayjen M. Yusuf dan Mayjen Basuki Rahmat berbincang serius mengenai situasi yang terjadi. Mereka tidak mengetahui soal pengerahan pasukan tanpa identitas yang disebut dalam memo Brigjen Sabur.

Dalam biografi M. Yusuf yang berjudul Jenderal M. Yusuf: Panglima Para Prajurit, diceritakan bahwa ia dan Basuki Rahmat kemudian memutuskan untuk menghadap Jenderal Soeharto, yang saat itu sedang sakit di kediamannya.

Setelah mendengar laporan dari kedua jenderal tersebut, Jenderal Soeharto akhirnya menyetujui rencana mereka untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ia juga menitipkan pesan kepada Presiden Soekarno:

“Sampaikan salam dan hormat saya kepada Presiden. Laporkan bahwa saya sedang sakit. Jika saya diberi kepercayaan, saya akan berusaha mengatasi keadaan ini.”

Pertemuan di Istana Bogor

Ketiga jenderal—Basuki Rahmat, Amir Mahmud, dan M. Yusuf—kemudian berangkat ke Istana Bogor. Sesampainya di sana, mereka dipersilakan menunggu karena Presiden Soekarno sedang beristirahat. Baru pada pukul 13.30 siang, mereka dipanggil untuk menghadap.

Di awal pertemuan, Presiden Soekarno marah besar kepada ketiga jenderal tersebut karena kejadian di Jakarta pada pagi harinya. Ia bertanya dengan nada keras tentang maksud kedatangan mereka. Jenderal Basuki Rahmat, sebagai yang paling senior, menjelaskan bahwa mereka datang untuk menyampaikan pesan dari Jenderal Soeharto.

Mendengar pesan tersebut, Presiden Soekarno kembali marah. Ia merasa Jenderal Soeharto sudah diberikan kewenangan sebagai Panglima Angkatan Darat dan pemegang kendali keamanan. Namun, para jenderal berusaha meyakinkan Presiden bahwa situasi yang dihadapi tidak hanya menyangkut militer, tetapi juga ketidakstabilan politik dan ancaman dari berbagai pihak.

Setelah melalui perdebatan panjang, Presiden Soekarno akhirnya mulai lebih terbuka mendengarkan argumentasi ketiga jenderal tersebut. Diskusi pun mengerucut pada solusi terbaik untuk menghadapi situasi genting.

Penyusunan Supersemar

Akhirnya, Presiden Soekarno setuju untuk memberikan kewenangan khusus kepada Jenderal Soeharto. Ia kemudian memerintahkan ketiga jenderal tersebut untuk menyusun konsep Surat Perintah. Setelah konsep selesai, Presiden memanggil tiga Wakil Perdana Menteri—Dr. Subandrio, Dr. Leimena, dan Chaerul Saleh—untuk berdiskusi.

Setelah dilakukan pembacaan ulang, Subandrio dan Chaerul Saleh mengoreksi beberapa bagian surat dengan mencoret serta menambahkan kata-kata tertentu. Namun, ketiga jenderal merasa bahwa perubahan yang dilakukan cenderung mengecilkan kewenangan yang akan diberikan kepada Jenderal Soeharto.

M. Yusuf, dalam biografinya, menceritakan bahwa mereka bertiga tidak puas dengan perubahan tersebut. Namun, karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 petang, Presiden Soekarno akhirnya menunda pertemuan untuk beristirahat dan salat.

Selama ini beredar tiga versi Supersemar dan tidak ada satu pun yang asli. Ketiga versi tersebut datang dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi kebangsaan. Meski memiliki beberapa versi, terdapat beberapa pokok pikiran yang diakui Orde Baru dan kemudian dijadikan acuan. berikut isi Supersemar tersebut:

Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *