Noor Johan Nuh (Penulis / Sejarawan)
Tidak tanggung-tanggung, setelah “didorong” empat orang menteri yaitu; Menteri Koordinator Politik-Hukum–Keamanan Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nabil Makarim, ditambah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X—seperti tergambar dalam seminar secara daring yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Yogyakarta pada 16 November 2021, usulan tanggal 1 Maret sebagai hari besar nasional yang sudah diajukan sejak tahun 2018 akhirnya dikabulkan.
Berdasarkan Keputusan Presiden no 2 tahun 2022 tanggal 24 Februari 2022, tanggal 1 Maret ditetapkan sebagai hari besar nasional yaitu; “Hari Penegakan Kedaulatan Negara.”
Adalah ditetapkan tanggal 1 Maret sebagai hari “Hari Penegakan Kedaulatan Negara” berdasarkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Komandan BrigadeX/ Wehrkreise III Letnan Kolonel Soeharto.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang digagas oleh Sultan Hamengku Buwono IX seperti ditulis dalam buku Tahta Untuk Rakyat—Celah-celah Kehidupan Hamengku Buwono IX.
Sri Sultan mengirim surat kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman yang isinya akan mengadakan besar-besaran ke markas dan pos-pos tentara Belanda di Yogyakarta pada siang hari. Jenderal Soedirman menyetujui dan meminta Sri Sultan berkoordinasi dengan Komandan Gerilya di Yogyakarta yaitu Letnan Kolonel Soeharto.
Jelas dan tandas Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komandan Brigade X yang kemudian diubah namanya menjadi Wehrkreise III, adalah yang memimpin serangan tersebut.
Serangan Umum 1 Maret adalah operasi militer yang dibantu rakyat Yogyakarta, maka menjadi sangat naif jika tidak menyebut nama komandan operasi militer tersebut.
Mengenai yang mengatakan penetapan hari besar nasional tanggal 1 Maret tidak menokohkan seseorang menjadi patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin satu peristiwa terjadi tanpa ada pelaku atau tokoh yang membuat peristiwa itu terjadi?
Bagaimana mungkin satu operasi militer tanpa menyebut nama komandannya?
Tentu kita tidak mungkin membicarakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanpa menyebut nama Bung Karno dan Bung Hatta. Begitu pula dengan membicarakan Serangan Umum 1 Maret 1949 tanpa menyebut nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Letnan Kolonel Soeharto.
Sedangkan Mahfud MD sebagai pembicara kunci di seminar itu dalam paparannya sama sekali tidak menyebut nama Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Mahfud MD membacakan makalah sekitar 13 menit mengatakan antara lain; “Ini adalah bentuk kolaborasi masyarakat sipil dan militer, dirancang oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan Panglima Besar Jenderal Sudirman, dilaksanakan bersama oleh TNI dan rakyat Yogyakarta.”
Memang benar, Serangan Umum 1 Maret adalah kolaborasi antara sipil dan militer. Kolaborasi antara pasukan Wehrkreisi III dan rakyat Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta ikut dalam serangan itu berdasarkan “dawuh Ngarso Ndalem”, sedangkan pasukan Wehrkreise III berdasarkan perintah komandan Letnan Kolonel Soeharto.
Menyebut serangan itu “dirancang” oleh Pak Dirman dan Sri Sultan adalah sangat tidak mungkin. Saat itu Jenderal Soedirman berada di Desa Sobo, Kecamatan Pakis Baru, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono berada di Ke-raton Yogyakarta.
Bagaimana mungkin dari tempat yang berjarak ratusan kilometer mereka berdua merancang serangan umum sedangkan alat komunikasi saat itu dapat dikatakan tidak ada kecuali komunikasi melalui kurir.
Jenderal AH Nasution, pada waktu itu sebagai Panglima Komando Jawa, menuliskan di memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas—Kenangan Masa Gerilya, jilid 2, halaman 134;
“Letnan Kolonel Soeharto mengambil keputusan untuk menyerang kota Yogya tanggal 1 Maret, sehingga mata internasional terbuka. Pak Dirman puas sekali dengan keadaan di Yogya. Dalam satu surat beliau kepada saya, disebutkan bahwa Letnan Kolonel Soeharto adalah ‘bunga pertempuran’.”
Andaikan yang disebut oleh Jenderal Soedirman “bunga pertempuran” itu gugur dalam Serangan Umum 1 Maret, namanya kan dikenang sebagai Pahlawan Serangan Umum 1 Maret, seperti kita mengenang Mohammad Toha sebagai pahlawan Bandung Lautan Api.
Tapi “bunga pertempuran” tetap hidup dan selanjutnya “membuahkan” karya-karya untuk bangsa ini, namun sayang, namanya “gugur” dalam Keppres no 2 tahun 2022. njn