Bakarudin AK. (Pemerhati masalah sosial)
Nama Jenderal Besar HM. Soeharto atau Pak Harto kembali menjadi perbincangan di banyak media cetak, elektronik dan platform media sosial. Beberapa stasiun televisi pun menyiarkan wawancara dan talk show denganberbagai narasumber dari berbagai kalangan. Pemimpin dan negarawan yang pernah memerintah Indonesia selama 31 tahun tersebut, belakangan diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan Pak Harto diusulkan untuk mendapat anugerah Pahlawan Nasional. Apakah gelar
Pahlawan Nasional akan disandang almarhum Pak Harto? Kita tunggu.
Tentang Gelar Bapak Pembangunan Indonesia
Terlepas dari penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tersebut, Pak Harto sendiri telah menyandang gelar Bapak Pembangunan Indonesia yang ditetapkan MPR RI pada Tahun 1983. Pak Harto adalah Presiden Indonesia kedua yang menjabat sejak 12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998. Masa jabatan Pak Harto disebut dengan Orde Baru, di mana yang menjadi fokus utamanya adalah pembangunan. Itulah mengapa Pak Harto disebut sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Selama 31 tahun lebih masa jabatannya, Pak Harto membentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sejak 1 April 1969 hingga 1994. Pak Harto melakukan pembangunan di segala bidang seperti
sekolah, Puskesmas, industri strategis nasional dan jalan nasional, waduk, embung, dan berbagai pengendalian banjir perkotaan. Sebagai apresiasterhadap keberhasilannya membangun Indonesia di segala bidang, Soeharto diangkat sebagai Bapak Pembangunan Indonesia tahun 1983 oleh MPR RI.
Tujuan dari dibentuknya Repelita sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhandasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita I (1 April 1969-31 Maret 1974) Repelita I dimulai tanggal 1 April 1969, seharisebelum Presiden Soeharto menandatangani Pengesahan RUU APBN tahun anggara 1969/1970 pada 31 Maret 1969. Repelita I ini menjadi landasan awal pembangunan di segala bidang pada masa pemerintahan Presiden Soehartoyang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan menjadi dasar bagi pembangunan selanjutnya.Sasaran yang hendak dicapai dalam Repelita I sendiri adalah sandang, pangan,papan. Selain itu, dilakukan juga perbaikan sarana prasarana terutama sarana pertanian, sarana jalan dan jembatan, sarana kesehatan dan pendidikan,kemudian pemenuhan perumahan bagi rakyat dan perluasan lapangan kerja.
Pada Repelita I, kondisi perekonomian Indonesia juga sudah mulai stabil dibandingkan sebelumnya. Inflasi mengalami penurunan yang pada 1966 sebesar 650 persen, pada tahun 1971/1972 dapat diturunkan hingga hanya 0,9 persen.
Program Ekonomi masa Orde Baru Repelita II (1 April 1974-31 Maret 1979) Rencana Pembangunan Lima Tahun kedua dimulai pada 1 April
1974. Pelaksanaan Repelita II ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1975. Repelita II disusun berdasarkan Garis Garis Besar Haluan Negara(GBHN) yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di pulau-pulauselain Jawa, Bali, dan Madura, di antaranya melalui program transmigrasi. Dalam Repelita II, Presiden Soeharto mengungkapkan bahwa fokus utamanyaadalah penanganan masalah-masalah ekonomi dan non-ekonomi. SelamaRepelita II, laju inflasi di Indonesia dapat dikendalikan secara bertahap. Pada tahun pertama dan kedua angka inflasi masih berkisar 20 persen dan menurun menjadi 12,1 persen pada 1976/1977
Repelita III (1 April 1979-31 Maret 1984) Pada Repelita III, Presiden Soeharto menekankan pada trilogi pembangunan dengan menekan asas pemerataan. Asas pemerataan tersebut adalah: Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan Pemertaan Pembagian Pendapatan Pemerataan Kesempatan Kerja Pemerataan Kesempatan Berusaha Dalam Repelita III, kondisi inflasi menurun dari tahun ke tahun, mulai dari 19,5 persen menjadi 10 persen.
Pada Repelita IV, Presiden Soeharto menitikberatkan pada usaha sektor pertanian untuk menetapkan swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri. Untuk menunjang pembangunan industri, disusun juga Standar Industri Indonesia (SII), sarana perlindungan bagi konsumen serta peningkatan efisiensi industri. Dalam Repelita IV, industri logam dasar dan mesin yang merupakan industri berskala besar dikembangkan untuk menyiapkan pembangunan sektor industri.
Repelita V (1 April 1989-31 Maret 1994). Dalam Repelita V, Presiden Soeharto berfokus pada usaha sektor pertanian, seperti: Memantapkan
swasembada pangan Meningkatkan produksi pertanian Menyerap tenaga kerja yang ada Mampu menghasilkan mesin-mesin sendiri Pada program Repelita V, kondisi perekonomian di Indonesia sudah jauh lebih baik, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 persen. Peningkatan ekspor juga lebih baik dibanding sebelumnya.
Repelita VI (1 April 1994-31 Maret 1999) Repelita VI dimulai tanggal 1 April 1994, yang menitikberatkan pada pembangunan sektor ekonomi, berkaitan dengan industri dan pertanian. Selain itu, dalam Repelita VI, Presiden Soeharto juga fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sayangnya, pada periode ini terjadi krisis moneter tahun 1998 yang melanda negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Empati Tanpa Rekayasa
Akhirnya Pak Harto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998 digantikan Wakil Presiden BJ. Habibie. Sejak menyatakan berhenti itulah, Pak Harto tidak lagi melakukan aktivitas berbau politik. Terlepas apakah pada masa tersebut belum ada media sosial, tetapi Pak Harto selalu menolak untuk melakukan wawancara dengan media-media nasional maupun asing. Walaupun demikian, penulis sempat mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara Pak Harto tahun 1999. Pak Harto menjawab berbagai tudingan, terutama terkait masalah Kolusi
Korupsi dan Nepotisme. “Becik ketitik ala ketara. Saya sebagai Presiden menjalankan GBHN yang ditetapkan oleh MPR RI,” jawab Pak Harto.
Dari penelusuran yang ada, sosok Pak Harto menjadi magnet para penulis buku. Setidaknya terdapat 250 lebih judul buku karya penulis Indonesia dan asing, baik yang pro maupun kontra, melihat sosok Pak Harto dari berbagai sisi atau bidang. Pak Harto memang tidak mengekspos diri untuk “mencuri” perhatian masyarakat. Pak Harto memilih berdiam, tidak membela diri apalagi menunjukkan diri masih memiliki kekuatan politik untuk menarik simpati. Walaupun pada saat bulan Ramadhan selalu digelar tarawih bersama di Jalan
Cendana No 8 Jakarta Pusat, tapi tak ada publikasi media cetak dan elektronik yang mempublikasikannya.
Sebuah buku cukup menarik perhatian yang ditulis oleh Anton Tabah. Anggota Polri yang ditugaskan menjadi sekretaris pribadi Pak Harto itu mengumpulkan surat-surat yang dikirim sejumlah tokoh, akademisi, mahasiswa, guru, siswa, dan lain-lain. Buku berjudul Empati di Tengah Badai diterbitkan pada tahun 1999. Kumpulan surat kepada Pak Harto merupakan surat yang diterima sejak 21 Mei-31 Desember 1998 yang berjumlah ribuan buah surat dihimpun menjadi 1.074 halaman. Sebagian besar surat berisi empati, simpati, harapanharapan dan doa-doa yang disampaikan. Misalkan Aprian Susanti dari Tangerang menulis dengan judul Kami Bangga Pada Bapak. “Saya simpati pada
Bapak. Rakyat Indonesia masih mencintai, menghormati dan mengenang jasa Bapak selama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia,”tulis Aprianti Susanti, seorang karyawati di Tangerang. (Halaman 1).
Selain itu Drs. A. Roezhary Fadlan dari Kalimantan Selatan menulis “Kenapa Memusuhi Bapak” (halaman 28-29). Ditulisnya, mereka yang menghujat dan memfitnah seakan-akan melupakan jasa-jasa yang telah Bapak berikan dan sumbangkan kepada nusa dan bangsa ini. Mereka tidak ingat lagi bagaimana bangsa dan negara ini akan segera hancur-lebur oleh kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965.
Surat-surat senada memang mewarnai buku “Empati di Tengah Badai” ini. Pada halaman akhir (1.074) ditampilkan surat dari Wayan Windia asal Gianyar-Bali tertanggal 28 Mei 1998. “Bapak Pejuang Sejati”, begitu judul surat tersebut. “Apapun yang dikatakan orang tentang Bapak, kami tetap mengagumi dan mencintai Bapak yang rendah hati, dan sangat berjasa bagi nusa dan bangs ini.
Yakni baik pada saat kemerdekaan, perang Trikora dan perang melawan Gestapu/PKI. Kami tetap berharap dan berdoa, kiranya Bapak dan seluruh keluarga selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Kami yakin, Bapak adalah pejuang sejati.”
Empati-empati dalam buku ini tentu saja menunjukkan kebesaran jiwa masyarakat Indonesia dalam melihat sosok Pak Harto. Hasil-hasil Pembangunan nasional yang telah dirasakan akhirnya melahirkan sarkasme atau sindiran paska berhentinya kepemimpinan Pak Harto atau disebut Orde Reformasi, yang dirasakan telah gagal membawa kemajuan negara dan bangsa Indonesia. Empati dan simpati yang mengalir, bukanlah didorong, dimotivasi, dibayar atau direkayasa. Mereka bukanlah para buzzer atau pendengung untuk mempengaruhi opini publik atau membangun citra positif tokoh tertentu. Tidak mengherankan jika muncul rasa rindu atas kepemimpinan Pak Harto, “Enak Jamanku To,” begitu sarkasme yang beredar luas. Nah… Bakarudin AK.(Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial)