Penulis : Dodit Setiyohadi
Dalam budaya Jawa, kesempurnaan seorang laki-laki kerap dirangkum dalam lima unsur simbolik: Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, dan Kukilo. Kelimanya bukan sekadar pelengkap gaya hidup, melainkan cerminan tanggung jawab, kedewasaan, hingga status sosial seseorang.
Menariknya, sosok pak Harto sering dianggap merepresentasikan lima unsur itu secara nyaris sempurna. Bukan karena jabatan politiknya semata, tapi karena bagaimana ia hidup, bersikap, dan menjaga identitas kejawaan di tengah pusaran kekuasaan.
Mari kita lihat satu per satu.
1. Wisma: Rumah Sebagai Pusat Kehidupan
Wisma tak hanya berarti punya tempat tinggal. Dalam tradisi Jawa, wisma juga menggambarkan kemampuan laki-laki dalam menciptakan ruang yang aman dan harmonis untuk keluarga.
Pak Harto, misalnya, dikenal sangat terikat dengan rumah kediamannya di Jalan Cendana. Meski berkuasa puluhan tahun, ia tak memilih kemewahan yang mencolok. Rumahnya bukan istana, tapi tetap menjadi simbol keseimbangan—tempat keluarga besar berkumpul, tempat perenungan, bahkan tempatnya berpulang.
2. Wanita: Pendamping Hidup dan Penjaga Harmoni
Ibu Tien Soeharto adalah figur penting dalam hidup Pak Harto. Ia bukan hanya istri, tapi juga sahabat politik, penjaga moral, sekaligus simbol keutuhan rumah tangga.
Dalam budaya Jawa, memiliki pendamping yang setia dan cerdas dianggap bagian dari kematangan laki-laki. Ibu Tien memainkan peran besar dalam membentuk citra Pak Harto sebagai pemimpin yang prasojo (sederhana), sabar, dan selalu menjaga tatanan.
3. Curiga: Keris dan Tanggung Jawab Kehormatan
Keris adalah lambang kehormatan, bukan sekadar senjata. Dalam konteks ini, curiga menunjukkan bahwa seorang laki-laki ideal adalah mereka yang punya kekuasaan, memegang teguh prinsip, siap memikul tanggung jawab, dan menjunjung nilai-nilai luhur.
Pak Harto yang berasal dari keluarga petani di Kemusuk, sejak muda telah dididik dengan nilai-nilai tanggung jawab dan keteguhan hati. Ia juga dikenal menghargai pusaka dan warisan budaya Jawa, termasuk keris—baik secara simbolik maupun spiritual.
4. Turangga: Kendaraan Sebagai Kendali dan Arah Hidup
Zaman dulu, turangga berarti kuda. Kini bisa berarti mobil, sepeda motor, atau bahkan metafora atas arah dan kendali hidup.
Pak Harto dikenal sebagai sosok yang tenang, penuh pertimbangan, dan tidak tergesa-gesa. Ia paham bahwa kendaraan bukan sekadar alat gerak, tapi lambang kewaspadaan. Sebuah keputusan, seperti kendaraan, harus diarahkan dengan hati-hati. Itu sebabnya ia sering disebut alon-alon asal kelakon.
Tunggangan ini bisa juga diartikan, seorang laki laki harus punya langkah yang jauh, untuk menyelami aneka ragam realita dunia. Dan tunggangan lah sarana untuk melangkah jauh itu.
5. Kukilo: Burung Peliharaan dan Kehalusan Jiwa
Nah, ini yang paling menarik. Pak Harto dikenal memelihara burung perkutut di kediamannya. Bagi orang Jawa, perkutut bukan burung sembarangan. Suaranya yang lembut dipercaya membawa ketenangan. Bentuk fisiknya, terutama jenis katuranggan, dipercaya membawa keberuntungan atau tuah tertentu.
Lebih dari itu, memelihara perkutut dianggap mencerminkan kehalusan budi. Di tengah kekuasaan dan hiruk-pikuk politik, Pak Harto tetap memberi ruang untuk hal-hal yang lembut—seperti duduk diam menikmati suara burung pagi hari.
Bisa diartikan juga memelihara perkutut adalah mengisi waktu luang atau hobi. Bahwa hidup tak harus melulu bekerja. Tapi harus punya hobi, yang fungsinya mengistirahatkan diri. Hobi ini bisa apa saja, tidak harus memelihara burung perkutut. Yang penting bisa menyenangkan diri, melupakan sejenak dari rutinitas sehari hari
Kesimpulan: Laki-Laki Jawa, Laku Hidup, dan pak Harto.

Tentu, kita tak sedang bicara tentang kesempurnaan mutlak. Tapi kalau kita melihat bagaimana budaya Jawa memaknai priyayi yang sejati, sosok Pak Harto menarik untuk dibaca dari sisi ini.
Ia tak hanya memimpin negara, tapi juga menjalani hidup dengan nilai-nilai Jawa yang terus ia bawa sejak muda: diam-diam tapi mantap, sumeleh tapi waspada, sederhana tapi penuh makna.
Dan lima unsur tadi—wisma, wanita, curiga, turangga, kukilo—bukan hanya simbol, tapi cermin dari satu hal yang mungkin kini makin langka: kesadaran akan laku hidup.
Juni 2025