CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA – Jejak kepemimpinan Presiden ke-2 RI, Soeharto telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia hingga era reformasi. Keberhasilan pemerintah Indonesia setiap masa dan periodeisasi kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan yang patut disyukuri.
Tanpa ada kerja keras pemerintahan sebelumnya, mungkin pemerintahan saat ini dan bangsa Indonesia, masih berada dalam situasi yang bisa jadi malah mengkhawatirkan. Capaian soal kerja keras tersebut seperti tercermin dalam pidato kenegaraan terakhir Soeharto yang disampaikan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Senin 1 Maret 1993, seperti dikutip dari Buku berjudul Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988-11 Maret 1993, Rabu (8/1/2025).
Dalam kesempatan berharga itu, Soeharto mengawali dengan pendahuluan bahwa dalam menjalankan kepemimpinan bangsa selama 1 periode (5 tahun), dia berpedoman pada sikap realisme yaitu sikap melihat kenyataan dengan apa adanya.
“Yang buruk kita terima dengan penuh kesadaran untuk bekal perbaikan dan agar tidak terulang kembali,” kata Soeharto saat itu.
Dengan demikian, lanjut Jenderal (Purn) TNI ini, sebagai bangsa sudah seyogianya membuat yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, dan membuat yang kurang baik menjadi baik.
“Semangat itulah yang ikut mewarnai laporan pertanggunganjawabannya hari ini,” ucap Soeharto.
Soeharto kemudian memaparkan capaian yang berhasil diraih pemerintahannya saat itu. Berikut poin-poin penting Soeharto dalam pidato kenegaraan terakhir di Sidang MPR 1993:
Perkuat lembaga politik
Dalam pidato yang dihadiri para pejabat tinggi negara dan undangan negara-negara sahabat itu, Soeharto menyebut, pemerintahannya berhasil menata lembaga-lembaga politik dengan baik. Pekerjaan rumahnya, lanjut Soeharto yaitu memantapkan lembaga-lembaga politik tersebut agar terus menerus memberi kesegaran serta memberikan warna dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
“Dalam membangun kehidupan politik tadi kita jelas tidak akan kembali ke belakang,” kata Soeharto.
Perkuat demokrasi Pancasila dan hubunga luar negeri
Dalam buku yang ditulis oleh Tim Dokumentasi Presiden ke-2 RI tersebut, Soeharto meyakini bahwa apa yang diraih oleh Indonesia saat itu merupakan kegagalan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin dalam mendukung pembangunan Indonesia.
Sebaliknya, lanjut Soeharto, ke depan, bangsa Indonesia harus memandang penerapan demokrasi berdasarkan Pancasila yang sejalan dengan capaian pemerintah Indonesia saat itu.
Presiden ke-2 itu juga menyinggung soal pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif. Soeharto mencontohkan soal normalisasi hubungan Indonesia dengan RRC setelah mengalami pembekuan selama 23 tahun.
“Ini merupakan manifestasi nyata dari politik luar negeri yang bebas aktif,” ucap Soeharto yang ditulis dalam buku tersebut.
Perbaiki hubungan China-Indonesia
Soeharto yang saat itu menyadari bersitegang dengan China, terus mendorong agar hubungan Indonesia-China semakin membaik. Kata Soeharto, betapapun besarnya perbedaan antara dua negara, namun persahabatan dapat dijalin atas dasar saling menghormati kedaulatan, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri dan saling kerja sama.
Bagi Soeharto, normalisasi hubungan itu juga memberi sumbangan yang berarti bagi stabilitas di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, yang selanjutnya juga melicinkan jalan bagi berbagai pendekatan regional lainnya.
Pertumbuhan ekonomi capai 9,2 persen
Soeharto menjelaskan, selama lebih dari dua dasawarsa terakhir (1989-1993), sektor industri telah tumbuh lebih cepat dari sektor-sektor lain, yaitu dengan rata-rata lebih dari 12% per tahun.
Dengan perkembangan yang pesat itu, peranan sektor industri dalam produksi nasional telah meningkat dari 9,2% dalam tahun 1969 menjadi 21,3% dalam tahun 1991.
“Yang sangat membesarkan hati adalah makin banyak produk industri kita yang mampu bersaing dan menembus pasaran dunia. Hasil-hasil industri sekarang menjadi tumpuan dan andalan utama ekspor non-migas kita,” ujar Soeharto.
Tak hanya itu, di masa jabatan terkahirnya itu, kegiatan agroindustri berkembang pesat. Perkembangan kegiatan agroindustri tersebut, menurut Soeharto tidak saja meningkatkan nilai tambahan hasil-hasil pertanian, tetapi juga mempererat keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri.
Selanjutnya, kemajuan penting lainnya dalam memantapkan struktur ekonomi Indonesia yaitu semakin minimnya ketergantungan pada sektor migas.
“Dalam satu dasawarsa terakhir ini penurunan peranan migas itu tampak dalam produksi nasional, dalam ekspor dan dalam penerimaan dalam negeri untuk anggaran negara,” tutur Soeharto.
Dominasi migas menurun tahun 1991
Soeharto mengatakan, dalam produksi nasional, dominasi migas menurun dari 24% dari seluruh produksi nasional pada 1981, menjadi 15,6% pada 1991. Dalam ekspornya, perannya menurun lebih cepat lagi, yaitu dari 82% dari seluruh penerimaan ekspor kita dalam tahun 1981/ 1982 menjadi sekitar 32% dalam tahun 1992/1993.
Sebaliknya peranan ekspor non-migas dalam ekspor Indonesia secara keseluruhan telah meningkat dari 18% dalam tahun 1981/1982 menjadi 68% dalam tahun 1992/1993.
Peningkatan ekspor non-migas sungguh sangat pesat. Dalam tahun 1968 nilai ekspor non migas baru sekitar US$570 juta untuk seluruh tahun. Dewasa ini, ekspor non-migas itu sudah mencapai lebih dari US$2 miliar untuk setiap bulan. Dalam tahun 1981/1982 penerimaan dalam negeri dari sumber non-migas hanya sekitar 29% dari seluruh penerimaan dalam negeri.
“Dalam tahun 1992/1993 penerimaan negara dari sumber non-migas telah meningkat menjadi lebih dari 70%” ucap Soeharto dalam pidatonya.
Minta maaf atas segala kekurangan
Di akhir pidatonya, Presiden ke-2 RI, Soeharto menyebut bahwa keberhasilannya adalah berkat dukungan, kepercayaan dan kerja keras dari seluruh kalangan, golongan dan generasi bangsa Indonesia.
Menurut Soeharto, segala kekurangannya adalah karena keterbatasannya sebagai manusia. Atas segala dukungan terhadap kepemimpinannya, ia sampaikan rasa terima kasih yanraedalam-dalamnya.