CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA — Pernikahan Presiden Indonesia Ke-2, Soeharto dengan Siti Hartinah yang lebih dikenal dengan sebutan ibu Tien Soeharto berlangsung pada 26 Desember 1947. Kala itu, bangsa Indonesia sedang dalam keadaan genting, sebelumnya pada 21 Juli 1947 terjadi agresi pertama tentara Belanda.
Kemudian berlangsung perundingan antara Indonesia dan Belanda sejak 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948 di atas kapal laut Amerika Serikat (AS), USS Renville di Teluk Jakarta.
Pada waktu Soeharto menikah dengan ibu Tien, dia telah menjabat sebagai Komandan Resimen di Yogyakarta. Karena menikah dalam situasi bangsa Indonesia genting, Soeharto mengaku bahwa di awal pernikahan tidak didahului dengan cinta-cintaan.
“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak-anak muda di tahun 80-an sekarang ini,” kata Soeharto dikutip dari buku otobiografinya berjudul Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya.
Presiden Indonesia Ke-2 ini mengungkapkan bahwa dia dan istrinya memegang pepatah witing tresna jalaran saka kulina, datangnya cinta karena terbiasa dan sering bertemu atau berinteraksi.
Setelah pernikahannya dengan Siti Hartinah di usia 26 tahun, Soeharto bertekad dan berkomitmen untuk mendayung perahu keluarga di tengah bahtera yang luas.
“Sebagai suami dan istri, sepatutnya kita mempunyai cita-cita mendapatkan keturunan yang baik, salah satu syarat untuk itu adalah adanya ketentraman di tengah kehidupan bersuami istri itu,” ujar Soeharto.
Bagi Soeharto, ketentraman dalam rumah tangga itu sebenarnya adalah saling pengertian antara suami dan istri. Tanpa saling mencintai, saling mengerti, tentu tidak akan ada kebahagiaan di dalam rumah.
“Kebahagiaan hidup antara suami dan istri itu tidak hanya untuk kedua orang itu, melainkan termasuk kewajibannya untuk menurunkan keturunan sebagai kodrat orang hidup yang percaya kepada Tuhan Yang Maha kuasa,” jelas Soeharto dalam buku Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya yang disampaikan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda, 1989.
Mengenai adanya cekcok antara suami dan istri di dalam rumah tangga, menurut Presiden RI Ke-2, itu adalah hal yang wajar dan manusiawi. Tetapi percekcokan itu bukan sesuatu untuk dibiarkan menjadi sebab perpecahan, melainkan untuk mengoreksi satu sama lain, saling mengendapkan diri dan bukan untuk menjadi berantakan.