Channel8.co.id – Jakarta. Setiap kali sebuah kabinet baru diumumkan di era Pemerintahan Presiden Soeharto, publik sering bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya Presiden Soeharto menentukan siapa saja yang duduk di kursi menteri? Jawabannya tidak sesederhana sekadar daftar nama, melainkan sebuah proses panjang yang sarat dengan pertimbangan politik, loyalitas, dan strategi kekuasaan.
Bagi Pak Harto, memilih menteri bukan hanya soal kecakapan teknis. Ia lebih dulu melihat loyalitas, kesetiaan, dan kemampuan calon untuk menjaga stabilitas politik. Figur-figur yang dianggap memiliki potensi menentang atau bersuara kritis biasanya tersingkir sejak awal. “Pak Harto lebih suka orang yang bisa sejalan dengan visinya,” ujar seorang mantan pejabat yang pernah terlibat dalam era Presiden Soeharto.
Meski begitu, keahlian tetap diperhitungkan. Dalam bidang ekonomi, misalnya, Soeharto mempercayakan pos penting kepada teknokrat lulusan “Universitas California Berkeley”. Mereka adalah sekelompok ekonom muda lulusan Amerika Serikat yang kemudian menjadi arsitek pembangunan Indonesia pada dekade 1970–1980-an. Keputusan itu membuktikan bahwa Soeharto memahami pentingnya profesionalisme, meski tetap dalam kendali politiknya.
Soeharto juga dikenal jarang mengumumkan pilihannya jauh-jauh hari. Nama-nama calon menteri seringkali dirahasiakan hingga detik terakhir sebelum pengumuman resmi. Bahkan, beberapa tokoh mengaku baru tahu dirinya ditunjuk menjadi menteri setelah dipanggil langsung ke Istana Negara.
Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah latar belakang militer. Sebagai mantan jenderal, Soeharto memberi ruang bagi perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di kabinet. Hal ini sejalan dengan doktrin Dwifungsi ABRI yang kala itu menempatkan militer tidak hanya di bidang pertahanan, tetapi juga dalam politik dan pemerintahan. Kabinet yang terbentuk relatif solid dan mendukung agenda pembangunan.
Menariknya, selama masa pemerintahannya, Soeharto tidak pernah melakukan reshuffle kabinet. Pergantian menteri hanya terjadi karena meninggal dunia, seperti Menko Polkam Susilo Sudarman, Mendikbud Nugroho Notosusanto, dan Jaksa Agung Sukarton.
Dengan iklim politik yang stabil, pemerintahan Orde Baru mampu menjalankan pembangunan secara terencana dan berkesinambungan, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7–9 persen per tahun.
Kini, puluhan tahun setelah berlalunya era Pemerintahan Orde Baru, cara Soeharto memilih menteri menjadi catatan penting dalam sejarah politik Indonesia. Bagi sebagian orang, itu adalah bukti kepemimpinan yang tegas dan stabil. (Tim)