Opini

Merah Putih Mengabdi dalam Nampan Penuh Gizi

×

Merah Putih Mengabdi dalam Nampan Penuh Gizi

Sebarkan artikel ini

Feature oleh Aron , Penulis dan Pemerhati Kebijakan Pemerintah

Mereka menyalakan api di pagi buta. Ketika kota masih tenggelam dalam dingin dan sunyi, di dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) kompor-kompor sudah menyala,
panci-panci besar berisi harapan mulai bergetar, dan aroma bawang putih bercampur dengan napas yang sabar. Tak ada musik. Hanya desah uap, denting sendok, dan langkah-langkah kecil yang tak ingin berhenti. Di antara panci dan wajan, seseorang berbisik lirih:  “Semoga tak ada anak yang lapar hari ini.”

Di dinding dapur, terpampang tulisan sederhana, tinta hitam di atas kertas buram: “Kami tidak memasak makanan. Kami memasak masa depan.”

Seseorang di pojok ruangan menatap jam yang berhenti. Ia tidak lagi tahu waktu — hanya tahu rasa. Berapa takaran garam untuk menjaga tekanan darah,
berapa menit bayam harus direbus agar hijaunya tak hilang. Di meja lain, seorang ahli gizi menunduk di depan timbangan digital.
Angka-angka kecil di layar menyala, seolah menjadi mantra agar anak-anak tetap sehat di sekolah.
Sementara staf akuntansi mencatat setiap rupiah dengan tangan gemetar. Mereka tahu, setiap angka harus bersih, seperti sendok yang dicuci sebelum digunakan.

Mereka tidak mencari pujian. Mereka hanya takut pada ketidaktepatan — karena dari ketidaktepatan, bisa lahir kelalaian,  dan dari kelalaian, bisa lahir sakit yang tak diinginkan.

Ada sudut dapur yang jarang disapa kamera. Tempat di mana air sabun berbuih,
dan tangan-tangan tua memegang ompreng satu per satu. Suara gesekan logam dengan spons terdengar seperti dzikir yang basah.

“Ompreng ini tempat anak-anak makan,” ujar seorang ibu paruh baya tanpa menoleh. “Kalau kotor, siapa yang berdosa? Kita, bukan mereka.”

Tangan-tangan itu memutih, kulitnya mengelupas karena air panas. Namun tidak ada yang mengeluh.Mereka tahu, kebersihan bukan peraturan —
ia adalah bentuk cinta paling sunyi.

Di luar, langit masih berwarna abu-abu.
Beberapa sopir bersiap dengan jaket lusuh dan secangkir kopi yang mulai dingin. Mereka memeriksa daftar sekolah, satu per satu.
Rute panjang menunggu: gang sempit, jembatan reyot, jalan yang belum diaspal.“Kalau telat sedikit, anak-anak bisa belum makan,”
kata seorang sopir dengan mata yang diselimuti kantuk.“Dan kalau mereka belum makan, siapa yang bisa belajar dengan perut kosong?”

Di lampu merah, seorang bocah kecil menatap mobil bertuliskan Makan Bergizi Gratis.
Ia tidak tahu dari mana datangnya makanan itu.  Ia hanya tahu, ada tangan-tangan asing yang peduli padanya tanpa pernah meminta dikenali.

Di gang lembap Jakarta Utara,  seorang anak lelaki bernama Rafi duduk di lantai semen, memegang ompreng logam dengan mata yang berkilat.

 “Aku suka ayamnya,” katanya sambil tersenyum kecil.“Dulu aku sering pusing di sekolah karena lapar. Sekarang nggak. Aku mau belajar rajin, biar nanti bisa bantu orang juga.”

Di Palu, seorang gadis kecil menulis dengan pensil tumpul di kertas lusuh:  “Kak, makasih udah kirim makan. Aku suka nasinya. Mama bilang, Tuhan sayang sama orang yang masak buat anak-anak.”

 

Dan di Pasuruan, bocah kurus bernama Aldi menunduk malu. “Aku dulu suka ngais sisa makanan di pasar,” ucapnya pelan. “Sekarang enggak. Kalau makanannya datang, aku doa dulu. Takut besok gak ada lagi.”

Kata-kata itu sederhana,  tapi rasanya seperti hujan pertama setelah musim kemarau panjang —
menyentuh, menyejukkan, menyesakkan.

Setiap sore, di balik layar ponsel, relawan media MBG menulis kisah dengan bahasa yang lembut.
Mereka menampilkan wajah anak-anak yang tersenyum dengan ompreng di tangan,video tangan-tangan yang mencuci wadah,
dan caption yang tak berlebihan: “Di dapur kami, cinta tak punya suara. Tapi ia mengenyangkan.”

 

Di kolom komentar, kalimat demi kalimat mengalir:

“Terima kasih, Kak. Anak saya selalu menunggu ompreng datang.”
“Saya nangis lihat ini. Semoga kalian kuat.”
“Kalian bukan cuma masak nasi, tapi juga harapan.”

Dapur itu tidak ingin terkenal, tapi diam-diam ia menjadi saksi  bahwa cinta bisa lahir dari panci, dan kejujuran bisa tumbuh dari minyak yang mendidih.

Malam tiba.
Suara terakhir dari keran air berhenti. Panci terakhir sudah dicuci.
Di tengah ruangan yang mulai sunyi,
seorang relawan menatap uap yang masih tersisa di udara.

“Semoga besok kami masih kuat,” katanya pelan.
“Karena kalau satu anak saja tidur lapar, kami merasa gagal menjadi manusia.”

Kalimat itu tidak tercatat di mana pun.Tapi ia tinggal di udara, menggantung di antara uap dan cahaya lampu,
seperti doa yang tak ingin segera pergi.

Ketika pagi kembali menembus kaca jendela,
bau nasi baru merebak lagi.
Kota mulai bangun, dan dapur kembali hidup.
Anak-anak di sekolah menanti ompreng yang datang,
dan di setiap suapan — ada merah putih yang bekerja tanpa pamrih.

Di dapur ini, Indonesia menanak cinta. Bukan dalam bentuk kata-kata,
melainkan dalam bentuk kenyang.

“Kami tidak sekadar memberi makan. Kami sedang menyalakan harapan”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *