CHANNEL8.CO.ID, JAKARTA — Sebelumnya, dikisahkan Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda ketika Belanda secara mendadak menyerang Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Indonesia. Itulah Agresi Belanda Ke-2. Kondisi ini membuat Soeharto harus memutar otak untuk menghalau agresi Belanda Ke-2.
Pada waktu pasukan yang dipimpin Soeharto kembali setelah menyerang, pasukannya dihadang oleh pasukan Belanda. Hal ini terjadi karena pada tanggal 30 Desember 1948 itu tentara Belanda bergerak dari kota Yogyakarta ke sebelah barat, ke desa Pedes, dan terus ke selatan menuju Bantul. Tanggal 31 Desember 1948, pada pagi harinya pasukan Belanda itu bergerak dari Bantul utara.
“Saya hampir saja terjepit. Tetapi alhamdulillah, saya bisa lolos dari kepungan,” ujar Soeharto.
Soeharto yang telah lolos dari kepungan Belanda memerintahkan lagi kepada sektor-sektor agar terus menerus melakukan serangan di daerahnya masing-masing terhadap Belanda. Serangan gerilya dan pencegatan pun harus dilakukan sambil mempersiapkan diri untuk melakukan serangan secara besar-besaran ke kota Yogyakarta atas perintah.
“Setiap serangan dalam perang gerilya saya anggap tidak ada gagalnya, sebab serangan itu tidak dimaksudkan untuk menduduki dan kemudian mempertahankan daerah yang diserang, melainkan untuk memperlemah kekuatan musuh,” demikian pandangan Soeharto.
Soeharto mengatakan, kemudian dilakukan serangan berikutnya terhadap Belanda sepuluh hari setelah serangan pertama. Selanjutnya melaksanakan serangan yang ketiga pada pertengahan Januari dan serangan keempat kalinya di permulaan Februari 1949.
Pada serangan umum ketiga itulah, Soeharto membentuk Komando Sektor Kota dengan Letnan Marsudi sebagai komandannya. Semua itu merupakan rangkaian usaha dalam melaksanakan perang gerilya. Tetapi semua itu kami lakukan di malam hari.
“Apa yang terjadi kemudian? Pada waktu saya menyalakan radio, memantau siaran luar negeri bersama-sama dengan Purhadi, perwira PHB yang sekarang sudah tiada, terdengar siaran luar negeri mengenai perdebatan di PBB,” kata Soeharto mengisahkan.
Belanda mengatakan bahwa tindakan polisionilnya (begitulah sebutan mereka) telah berhasil. Yogyakarta telah mereka duduki, pemerintahan Belanda berjalan lancar, TNI sudah tidak ada, ekstrimis sudah di luar kota, kata Belanda.
Mendengar hal itu, Soeharto mengaku bahwa hatinya melawan mendengar siaran radio itu. Sudah empat kali pasukannya mengadakan serangan terhadap Belanda, tapi masih juga Belanda lantang mengatakan bahwa TNI sudah tidak ada.
“Seketika itu saya berpikir, bahan apa yang akan digunakan Palar, Wakil RI di PBB untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu? Maka muncul keputusan dalam pikiran saya bahwa kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan pada dunia kebohongan pihak Belanda itu,” kata Soeharto.
Soeharto mengisahkan, waktu itu tidak ada komunikasi antar pimpinan TNI. Pak Dirman (Soedirman) sudah berada di dekat Jawa Timur. Mungkin sudah di Pacitan. Mungkin sudah di desa Sobo. Komando Panglima Divisi ada di Ngangkrik, Magelang. Pasukan dari Yogyakarta memerlukan waktu berhari-hari untuk bisa sampai ke sana.
Sistem Wehrkreise (istilah dalam bahasa Jerman yang berarti lingkaran pertahanan) yang sudah dipilih dan disepakati untuk dipakai, menetapkan memberikan wewenang kepada Komandan Wehrkreise untuk mengambil inisiatif yang sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing.
“Lalu saya putuskan, di pertengahan Februari 1949 mengadakan serangan pendahuluan terhadap pos-pos Belanda di luar kota, untuk mengelabui perhatian tentara Belanda, seolah-olah kita tidak akan menyerang kota, dengan begitu, kita buat mereka lengah,” kata Soeharto.
Setelah itu, Soeharto perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk melaksanakan serangan umum.
“Waktu saya tentukan pada tanggal 1 Maret, serangan pagi. Pasukan kita saya tetapkan menggunakan janur kuning sebagai tanda pengenal,” ujar Soeharto.
Bersambung ke Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 3)
Baca juga: Kesaksian Soeharto Saat Perang Hadapi Agresi Belanda Ke-2 (Bagian 1)